ng yang dapat menyesuaikan diri merupakan dasar bagi penentuan derajat kesehatan mental bagi seseorang . Orang yang dapat menyesuaikan diri secara aktif dan realistis sambil tetap mempertahankan stabilitas diri mengindikasikan adanya kesehatan mental yang tinggi pada dirinya . Sebaliknya mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri secara aktif, tidak realistic dan tidak stabil dirinya menunjukan rendahnya kesehatan mental pada dirinya. Dengan kata lain kemampuan penyesuaian diri merupakan variable utama dalam kesehatan mental setara dengan peningkatan kemampuan penyesuaian diri yang aktif, realistik disertai dengan stabilitas diri .
Kemampuan penyesuaian diri idealnya dilatih dan dibina sejak kecil, Namun peningkatan kemampuan ini bukan tidak dapat dilakukan ketika seseorang sudah dewasa. Dari waktu ke waktu idealnya manusia perlu terus mengembangkan kemampuan penyesuaian dirinya yang aktif, realistic dan dinamis sambil tetap menjaga stabilitas diri. Dalam banyak literatur psikologi kesehatan , pengembangan diri dan kemampuan penyesuaian diri merupakan salah satu indikasi dari kepribadian yang sehat. Dalam uraian Gordon W. Allport, Carl Rogers, Abraham Maslow dan Viktor Frankl . Menegaskan bahwa pribadi yang sehat selalu ditandai dengan keinginan untuk tumbuh dan berkembang , berorientasi ke masa depan sambil tetap realistis dan mampu melakukan inovasi bagi diri sendiri serta lingkungannnya. Perbaikan kemampuan penyesuaian diri tidak hanya perlu dilakukan pada mereka yang mengalami gangguan mental tetapi juga pada siapa saja.
Misalnya seorang anak yang baru pindah sekolah karena mengikuti orang tuanya yang dipindah tugaskan dari pedesaan/pedalaman ke Ibu Kota Jakarta, Dia tahu bahwa pergaulannya telah berubah 180ยบ. Dia bisa menyesuaikan dirinya dengan teman-temannya sekarang tetap bergaul layaknya anak-anak lainnya namun dia tetap bisa menjaga norma serta penerapan yang telah Orang Tuanya berikan sejak dia masih kecil bahwa apa pun yang dia lakukan harus tetap menjaga norma agama, serta budaya . Meskipun sejak dulu Orang Tuanya memberikan kebebasan dia dalam bergaul namun dia juga tetap diberatkan dengan tanggung jawab yang harus tetap dia pikul dan tetap dia bawa . Apa pun yang dia lakukan sekarang meskipun secara kasat mata dia sama seperti anak yang lain sering ‘nongkrong’ bareng namun dia tetap menjaga nama baik dia sendiri, nama baik Orang Tua dan Keluarga dan tetap berpegang teguh bahwa semua harus sesuai dengan norma agama dan norma budaya yang selama ini telah ditetapkan Orang Tuanya.
Kamis, 22 Maret 2012
Selasa, 20 Maret 2012
Efek Media Massa Bagi Kesehatan Mental Anak
Hari-hari terakhir ini, kita hampir tidak dapat dilepaskan dari hingar bingar berita skandal video porno mirip artis yang sudah tersebar bebas di internet. Lepas dari segala kecaman maupun berita yang disorotkan ke artis yang terlibat, kita memang perlu prihatin bahwa tersebarnya rekaman tersebut, sudah terjangkau hingga ke berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Bahkan jauh sebelum kehebohan video ini muncul, kita tentu masih ingat tersebarnya pula rekaman video seks mantan pejabat, mahasiswa, ganti baju artis, dan masih banyak lagi.
Semuanya merupakan aktivitas yang cenderung ditabukan dalam kultur masyarakat kita, terutama bagi anak-anak. Dan tidak dapat dipungkiri, kasus yang melibatkan artis-artis terkenal ini menjadi perhatian public maupun pemerintah yang cukup besar karena mereka adalah figur public, sehingga membuat lebih banyak kalangan yang cenderung ingin tahu, apa yang sedang diberitakan media massa.
Harus kita akui, di jaman yang serba modern ini, penyebaran informasi apapun, baik yang positif maupun negative, relative sulit dihindari, termasuk juga informasi-informasi yang seharusnya diperuntukkan untuk orang dewasa yang sudah siap lahir dan batin menerima informasi tersebut. Apalagi, perkembangan internet dan perangkatnya yang semakin murah dan semakin kita butuhkan untuk aktivitas sehari-hari sehingga memungkinkan akses yang semakin mudah.
Tentu tidak akan efektif bila kita sebagai orang tua, hanya sekedar melarang anak kita dan memarahinya bila kita mendapatinya sedang mengkonsumsi informasi yang tergolong dewasa, baik melalui internet, handphone, televisi ataupun alat teknologi lain, karena hal itu akan memunculkan rasa penasaran yang besar pada anak, dan ujung-ujungnya, akan mudah tergoda untuk mencari tahu dalam bentuk praktek nyata, seperti yang kebanyakan diberitakan selama ini di berbagai media massa.
Oleh sebab itu, kunci utama untuk melindungi buah hati kita dari dampak negative kemajuan teknologi, dengan tetap kita mampu memaksimalkan segi positif dari teknologi tersebut, adalah KOMUNIKASI. Seperti layaknya setiap hubungan apapun itu, termasuk hubungan antar suami-istri, KOMUNIKASI merupakan sarana yang paling efektif untuk saling memberikan masukan, saling memahami, saling memberikan pengertian, dan saling belajar satu sama lain dalam mencapai win-win solution di setiap masalah apapun.
Marah, memaksa, melarang, menghukum, maupun tindakan emosional lainnya, cenderung meningkatkan perasaan tertekan dan keinginan memberontak pada anak, yang ujung-ujungnya, akan menyulitkan orang tua dalam penanaman nilai secara tepat.
Komunikasi antar orang tua-anak yang terjalin dengan baik (artinya, anak merasa nyaman setiap kali berkomunikasi dengan orang tuanya, bukan malah tertekan atau takut), akan jauh lebih efektif untuk menanamkan nilai-nilai dibandingkan factor luar. Hanya pada saat anak tidak merasa nyaman ketika ia di rumah, itulah saatnya factor luar (teman, media massa, dll) memberikan pengaruh yang signifikan.
Lantas, bagaimana caranya ber-KOMUNIKASI yang efektif agar anak mudah memahami pengertian yang dimaksud orang tua?
Di sini, dibutuhkan KESESUAIAN antara inti informasi yang dikomunikasikan orang tua dengan perkembangan mental anak, yang umumnya mengikuti perkembangan usianya.
Tidak dapat dipungkiri, perkembangan intelektual dapat semakin cepat dan semakin dini berkat pengaruh gizi, lingkungan, maupun pola asuh. Namun sebaliknya, perkembangan mental perlu proses sinergi terus menerus antara orang tua-anak-lingkungan hingga anak mulai mampu mengambil tanggung jawab secara mandiri di masa dewasa.
Oleh sebab itu, kami sajikan beberapa tips berikut ini yang dapat dicoba orang tua dalam menanamkan nilai-nilai normative (khususnya terkait perilaku seks bebas):
1. Memanfaatkan Perumpamaan/ Metafora CINTA dan RESMI
Hal ini terutama saat anak berusia di bawah sekurang-kurangnya 7 tahun (sekitar SD kelas 2), bertanya dari mana ia dilahirkan.
- Lebih baik orang tua menghindari jawaban yang sulit diterima akal sehat karena kelak di masa depan, anak akan sulit percaya kepada orang tua bila ternyata kenyataannya tidak seperti yang disampaikan orang tua.
- Lebih baik orang tua memberikan jawaban dari Cinta, seperti cerita cinta dongeng Cinderella dan dari Cinta itulah, anak dilahirkan. Maka, konsep terlahir dari “Cinta”, menjadi norma yang terekam di informasi anak.
- Di atas usia 7 th – awal masa akil balik, orang tua bisa menambahkan konsep “Cinta” tersebut dengan konsep “Resmi”, di mata agama dan hukum, seperti anak yang terlahir dari Cinta yang telah dipersatukan secara resmi oleh agama dan hukum dalam bentuk pernikahan yang sah.
- Maka ketika anak sudah memasuki masa akil balik (remaja ke atas), nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” sudah terekam di kepribadian anak, sehingga selanjutnya, tugas orang tua relative lebih ringan dengan membimbing anak untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi organ tubuh yang sudah mulai matang. Baru pada saat itulah, anak baru dapat belajar mengenai awal mula “Proses Biologis” terbentuknya kelahiran anak dengan nilai-nilai “Cinta” dan “Resmi” yang tertanam.
2. Menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dari foto-foto perkawinan orang tua
3. Menunjukkan kebahagiaan yang terpancar dari dokumen kelahiran anak, hasil dari Cinta kasih yang diwujudkan dalam bentuk pernikahan Resmi.
4. Menekankankan dan selalu mengulang kata “Ayah dan Ibu PERCAYA sama Adik (atau nama panggilan anak), dan bahwa Adik akan selalu menggunakan kepercayaan Ayah dan Ibu dengan baik”
5. Menjelaskan bahwa perilaku seks bebas seperti yang ditunjukkan oleh artis maupun orang lain seperti yang diberitakan di berbagai media massa maupun internet, itu bukanlah “Cinta” karena tidak dipertanggungjawabkan secara “Resmi” di hadapan agama dan hukum. Maka dari itu, perilaku semacam itu, tidak akan menghasilkan kebahagiaan bagi diri sendiri.
- Hal ini-pun berlaku ketika anak sudah menginjak remaja dan mulai menjalin hubungan pacaran, sehingga dengan nilai/ kata kunci “Cinta”, “Resmi”, maupun “Orang tua Percaya” yang telah tertanam dalam prinsip hidup anak, kondisi mental anak akan relative sudah siap untuk menjaga diri sendiri dari godaan untuk melakukan hubungan seksual sebelum waktunya, walaupun dengan pacar sendiri.
6. Yang terakhir dan tak kalah pentingnya, adalah PANUTAN dari orang tua. Tanpa “PANUTAN” yang sesuai dengan kenyataan yang dilihat anak, maka langkah 1 s/d 5 akan menjadi kurang efektif, atau lebih tepatnya, sia-sia.
Seperti sebuah pepatah mengatakan, “Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit.” Demikian juga dengan perkembangan mental pada generasi muda masa datang, khususnya anak-anak kita.
Kita tidak dapat memperbaiki masa lalu, kita tidak dapat menutup diri dari perkembangan jaman, kita juga tidak dapat menghindari kemajuan teknologi yang sangat cepat, tapi kita dapat belajar dari kesalahan dan memperbaikinya demi masa depan yang lebih baik. Dan, itu semua tergantung dari diri kita masing-masing saat ini.
Penulis:
Penulis :
Siti Marini Wulandari, M.Psi., Psikolog, dan
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi., Psikolog
Siti Marini Wulandari, M.Psi., Psikolog, dan
Suwito Hendraningrat Pudiono, M.Psi., Psikolog
Langganan:
Postingan (Atom)